Powered By Blogger

Senin, 14 Mei 2012

Strategi Pendidikan Karakter di Sekolah

  •   Strategi Pendidikan Karakter di Sekolah 
          Pelaksanaan pendidikan berkarakter sebagai salah satu inovasi dalam pembelajaran perlu segera dilakukan dengan melakukan berbagai bentuk strategi khusus di tingkat sekolah. Hal ini diharapkan agar tujuan pembelajaran dengan mengarah kepada pembentukan karakter dapat di capai yaitu membentuk bangsa yang tangguh, kompetitif, berakhlak mulia, bermoral, bertoleran, bergotong royong, berjiwa patriotik, berkembang dinamis, berorientasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang semuanya dijiwai oleh iman dan takwa kepada Tuhan yang Maha Esa berdasarkan Pancasila. Sehingga Strategi Pembelajaran Berkarakter disekolah harus disusun dengan mengacu pada beberapa komponen yaitu strategi Kegiatan Pembelajaran, Pengembangan budaya Sekolah dan Pusat Kegiatan Belajar, Kegiatan ko-kurikuler dan atau kegiatan ekstrakurikuler, dan Kegiatan keseharian di rumah dan di masyarakat.

Secara rinci strategi pendidikan karakter di sekolah dapat dilakukan dengan langkah berikut:
Kegiatan Pembelajaran
Kegiatan pembelajaran dalam kerangka pengembangan karakter peserta didik dapat menggunakan pendekatan kontekstual sebagai konsep belajar dan mengajar yang membantu guru dan peserta didik mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata, sehingga peserta didik mampu untuk membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka. Dengan begitu, melalui pembelajaran kontekstual peserta didik lebih memiliki hasil yang komprehensif tidak hanya pada tataran kognitif (olah pikir), tetapi pada tataran afektif (olah hati, rasa, dan karsa), serta psikomotor (olah raga).
Pembelajaran  kontekstual mencakup beberapa strategi,  yaitu: (a) pembelajaran berbasis masalah, (b) pembelajaran kooperatif, (c) pembelajaran berbasis proyek, (d) pembelajaran pelayanan, dan (e) pembelajaran berbasis kerja. Kelima strategi tersebut dapat memberikan nurturant effect pengembangan karakter peserta didik, seperti: karakter cerdas, berpikir terbuka, tanggung jawab, rasa ingin tahu.


DESAIN PENDIDIKAN KARAKTER


  •    DESAIN PENDIDIKAN KARAKTER
A. Kerangka Pengembangan budaya sekolah
1.      Budaya sekolah memiliki cakupan yang sangat luas, pada umumnya mencakup kegiatan ritual, harapan, hubungan sosial-kultural, aspek demografi, kegiatan kurikuler, kegiatan ekstrakurikuler, proses pengambilan keputusan, kebijakan maupun interaksi sosial antar komponen di sekolah. Budaya sekolah adalah suasana kehidupan sekolah dimana peserta didik berinteraksi dengan sesamanya, guru dengan guru, konselor dengan peserta didik, antar tenaga kependidikan, antara tenaga kependidikan dengan pendidik dan ppeserta didik, , dan antar anggota kelompok masyarakat dengan warga sekolah sekolah.  Interaksi internal kelompok dan antar kelompok terikat oleh berbagai aturan, norma, moral serta etika bersama yang berlaku di suatu sekolah. Kepemimpinan, keteladanan, keramahan, toleransi, kerja keras, disiplin, kepedulian sosial, kepedulian lingkungan, rasa kebangsaan,  dan tanggungjawab merupakan nilai-nilai yang dikembangkan dalam budaya sekolah.
2.      Selain itu, budaya sekolah diyakini merupakan salah satu aspek yang berpengaruh terhadap perkembangan anak. Menurut penelitian Dr. Teerakiat  Jareonsttasin (2000) tentang pengaruh sekolah terhadap perkebangan anak, ditemukan empat hal utama (input dan output) yang saling mempengaruhi. Yang terpenting adalah iklim atau budaya sekolah. Jika suasana sekolah penuh kedisiplinan, kejujuran, kasih sayang maka hal ini akan menghasilkan output yang diinginkan berupa katakter yang baik. Pada saat yang sama , guru akan merasakan kedamaian dan suasana sekolah seperti itu akan meningkatkan pengelolaan kelas. Dengan pengelolaan kelas yang baik maka akan menyebebakan prestasi akademik yang tinggi. Sebuah temuan penting lainnya adalah bila siswa memeiliki karakter yang baik, maka hal ini akan berpengaruh langsung terhadap prestasi akademik yang tinggi. Karena itu langkah pertama dalam mengaplikasikan pendidikan karakter di sekolah adalah menciptkan suasana atau iklim sekolah yang cocok yang akan membantu transformasi guru-guru dan siswa, juga staf-staf sekolah. Hal ini termasuk di dalamnya adalah objetive atau tujuan yang tepat untuk sekolah, misi sekolah, kepemimpinan sekolah, kebijakan dan  visi pihak manajemen moral para staf dan guru, serta partisipasi orang tua dan siswa. Sesunngguhnya, semua langkah dalam model pembelajaran nilai-nilai karakter ini akan berkontribusi terhadap buadya sekolah.
3.      Sebagai salah satu contoh kecil tentang kebersihan lingkungan sekolah, baik di kamar mandi/WC, di ruang kelas, di lorong-lorong maupun di luar gedung sekolah/taman sekolah. Hal itu hanya dapat dilakukan di sekolah dengan dukungan manajemen sekolah yang mempunyai kepedulian yang tinggi terhadap kebersihan lingkungan. Kondisi sekolah seperti itu dilaksanakan melalui program sekolah bersama antara manajemen sekolah, guru, siswa dan orang tua siswa. Di setiap sudut ruang, terdapat tempat sampah yang dapat digunakan untuk menyimpan sampah kering dan basah serta sampah yang dapat di daur ulang. Siswa dikondisikan untuk membuang sampah ke tempat yang sesuai dengan jenis sampah dan melalui pembiasaan seperti itu diharapkan kepedulian siswa menjadi lebih tinggi terhadap kebersihan lingkungan.

Sebelas Prinsip Pendidikan Karakter Efektif

  • Sebelas Prinsip Pendidikan Karakter Efektif              
Saat ini belum ada rumusan tunggal tentang pendidikan karakter yang efektif, menurut nasihat  dari Character Education Partnership bahwa untuk dapat mengimplementasikan program pendidikan karakter yang efektif, sebaiknya memenuhi beberapa prinsip berikut ini:
  1. Komunitas sekolah mengembangkan dan meningkatkan nilai-nilai inti etika dan kinerja sebagai landasan karakter yang baik.
  2. Sekolah berusaha mendefinisikan “karakter” secara komprehensif,  di dalamnya  mencakup berpikir (thinking), merasa (feeling), dan melakukan (doing).
  3. Sekolah menggunakan pendekatan yang komprehensif, intensif, dan proaktif dalam  pengembangan karakter.
  4. Sekolah menciptakan sebuah komunitas yang memiliki kepedulian tinggi.(caring)
  5. Sekolah menyediakan kesempatan yang luas bagi para siswanya untuk melakukan berbagai tindakan moral (moral action).
  6. Sekolah menyediakan kurikulum akademik yang bermakna dan menantang, dapat menghargai dan menghormati seluruh  peserta didik, mengembangkan karakter mereka, dan berusaha membantu mereka untuk meraih berbagai kesuksesan.
  7. Sekolah mendorong siswa untuk memiliki motivasi diri  yang kuat.
  8. Staf sekolah ( kepala sekolah, guru dan TU) adalah sebuah komunitas belajar etis yang senantiasa  berbagi tanggung jawab dan mematuhi nilai-nilai inti yang telah disepakati. Mereka menjadi  sosok teladan bagi para siswa.
  9. Sekolah mendorong kepemimpinan bersama yang memberikan dukungan penuh terhadap gagasan  pendidikan karakter dalam jangka panjang.
  10. Sekolah melibatkan keluarga dan anggota masyarakat sebagai mitra dalam upaya pembangunan karakter.
  11. Secara teratur, sekolah melakukan asesmen  terhadap budaya dan iklim sekolah, keberfungsian para staf sebagai pendidik karakter di sekolah, dan sejauh mana siswa  dapat mewujudkan karakter yang baik dalam kehidupan sehari-hari


Hakikat Pendidikan Parakter


I.                   Hakikat Pendidikan Parakter
Sejalan dengan Renstra Kemendiknas 2010-2014 yang telah mencanangkan penerapan pendidikan karakter, maka diperlukan kerja keras semua pihak, terutama terhadap program-program yang memiliki kontribusi besar terhadap peradaban bangsa harus benar-benar dioptimalkan. Namun, penerapan pendidikan karakter di sekolah memerlukan pemahaman tentang konsep, teori, metodologi dan aplikasi yang relevan dengan pembentukan karakter (character building) dan pendidikan karakter (character education). Selama ini para guru sudah mengajarkan pendidikan karakter namun kebanyakan masih masih seputar teori dan konsep, belum sampai ke ranah metodologi dan aplikasinya dalam kehidupan. Idealnya, dalam setiap proses pembelajaran mencakup aspek konsep (hakekat), teori (syare’at), metode (tharekat) dan aplikasi (ma’rifat). Jika para guru sudah mengajarkan kurikulum secara komprehensif melalui konsep, teori, metodologi dan aplikasi setiap mata pelajaran dimana pendidikan karakter sudah terimplementasikan di dalamnya , maka kebermaknaan yang diajarkannya akan lebih efektifi dalam menunjang pendidikan karakter. Tanpa pijakan dan pemahaman tentang konsep, teori, metode yang jelas dan komprehensif tentang pendidikan karakter, maka misi pendidikan karakter pada sekolah-sekolah akan menjadi sia-sia.

           Pendidikan moral (moral education) dalam keseharian sering dipakai untuk menjelaskan aspek-aspek yang berkaitan dengan etika. Pembelajarannya lebih banyak disampaikan dalam bentuk konsep dan teori tentang nilai benar (right) dan salah (wrong).
Sedangkan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari tidak menyentuh ranah afektif (apresiatif) dan psikomotorik (tidak menjadi kebiasaan) dalam perilaku siswa. Pendidikan ahlaq lebih ditekankan pada pembentukan sikap batiniyah agar memiliki spontanitas dalam berbuat kebaikan. Nilai benar dan salah diukur oleh nilai-nilai agamawi. Dalam Islam, nilai-nilai itu harus merujuk pada Al-Qur’an dan Sunnah. Jika perilaku kaum Muslim sudah tidak merujuk lagi pada Al-Qur’an dan Sunnah, dapat dikatagorikan kaum yang tidak berahlaq sekaligus dapat disebut kaum yang tidak bermoral. Namun dalam implementasinya masih sama halnya dengan pendidikan moral. Walaupun beberapa lembaga pendidikan sudah menyatakan berbasis moral dan ahlaq, tetapi masih berbanding lurus dengan naiknya angka kriminalitas dan denkadensi moral di kalangan anak sekolah. Sedangkan pendidikan karakter merupakan upaya pembimbingan perilaku siswa agar mengetauhi, mencintai dan melakukan kebaikan. Fokusnya pada tujuan-tujuan etika melalui proses pendalaman apresiasi dan pembiasaan.
        Secara teoritis, karakter seseorang dapat diamati dari tiga aspek, yaitu: mengetahui kebaikan (knowing the good), mencintai kebaikan (loving the good), dan melakukan kebaikan (doing the good). Pendidikan karakter sesungguhnya bukan sekedar mendidik benar dan salah, tetapi mencakup proses pembiasaan (habituation) tentang perilaku yang baik sehingga siswa dapat memahami, merasakan, dan mau berperilaku baik. Sehingga tebentuklah tabi’at yang baik. Menurut ajaran Islam, pendidikan karakter identik dengan pendidikan ahlaq.Walaupun pendidikan ahlaq sering disebut tidak ilmiah karena terkesan bukan sekuler, namun sesungguhnya antara karakter dengan spiritualitas memiliki keterkaitan yang erat. Dalam prakteknya, pendidikan ahlaq berkenaan dengan kriteria ideal dan sumber karakter yang baik dan buruk, sedangkan pendidikan karakter berkaitan dengan metode, strategi, dan teknik pengajaran secara operasional.
Proses pendidikan dengan bahasa sederhana adalah merubah manusia menjadi lebih baik dalam pengetahuan, sikap dan keterampilan. Namun, pada prakteknya lebih ditekankan pada aspek prestasi akademik (academic achievement), sehingga mengabaikan pembentukan karakter siswa. Walaupun dalam teori sosiologi menyebutkan bahwa pembentukan karakter menjadi tugas utama keluarga, namun sekolah pun ikut bertanggung terhadap kegagalan pembentukan karakter di kalangan para siswanya, karena proses pembudayaan menjadi tanggungjawab sekolah.




Urgensi Pendidikan Karakter


I.                   Urgensi Pendidikan Karakter
Karakter adalah cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerjasama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Individu yang berkarakter baik adalah individu yang bisa membuat keputusan dan siap mempertanggungjawabkan tiap akibat dari keputusan yang ia buat.
Pembentukan karakter merupakan salah satu tujuan pendidikan nasional. Pasal I UU Sisdiknas tahun 2003 menyatakan bahwa di antara tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik untuk memiliki kecerdasan, kepribadian dan akhlak mulia.
Amanah UU Sisdiknas tahun 2003 itu bermaksud agar pendidikan tidak hanya membentuk insan Indonesia yang cerdas, namun juga berkepribadian atau berkarakter, sehingga nantinya akan lahir generasi bangsa yang tumbuh berkembang dengan karakter yang bernafas nilai-nilai luhur bangsa serta agama.
Pendidikan yang bertujuan melahirkan insan cerdas dan berkarakter kuat itu, juga pernah dikatakan Dr. Martin Luther King, yakni; intelligence plus character  that is the goal of true education (kecerdasan yang berkarakter adalah tujuan akhir pendidikan yang sebenarnya).
Memahami Pendidikan Karakter Pendidikan karakter adalah pendidikan budi pekerti plus, yaitu yang melibatkan aspek pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action). Menurut Thomas Lickona, tanpa ketiga aspek ini, maka pendidikan karakter tidak akan efektif.
Dengan pendidikan karakter yang diterapkan secara sistematis dan berkelanjutan, seorang anak akan menjadi cerdas emosinya. Kecerdasan emosi ini adalah bekal penting dalam mempersiapkan anak menyongsong masa depan, karena seseorang akan lebih mudah dan berhasil menghadapi segala macam tantangan kehidupan, termasuk tantangan untuk berhasil secara akademis.
Terdapat sembilan pilar karakter yang berasal dari nilai-nilai luhur universal, yaitu: pertama, karakter cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya; kedua, kemandirian dan tanggungjawab; ketiga, kejujuran/amanah, diplomatis; keempat, hormat dan santun; kelima, dermawan, suka tolong-menolong dan gotong royong/kerjasama; keenam, percaya diri dan pekerja keras; ketujuh, kepemimpinan dan keadilan; kedelapan, baik dan rendah hati, dan; kesembilan, karakter toleransi, kedamaian, dan kesatuan.
Kesembilan pilar karakter itu, diajarkan secara sistematis dalam model pendidikan holistik menggunakan metode knowing the good, feeling the good, dan acting the good. Knowing the good bisa mudah diajarkan sebab pengetahuan bersifat kognitif saja. Setelah knowing the good harus ditumbuhkan feeling loving the good, yakni bagaimana merasakan dan mencintai kebajikan menjadi engine yang bisa membuat orang senantiasa mau berbuat sesuatu kebaikan. Sehingga tumbuh kesadaran bahwa, orang mau melakukan perilaku kebajikan karena dia cinta dengan perilaku kebajikan itu. Setelah terbiasa melakukan kebajikan, maka acting the good itu berubah menjadi kebiasaan.
Dasar pendidikan karakter ini, sebaiknya diterapkan sejak usia kanak-kanak atau yang biasa disebut para ahli psikologi sebagai usia emas (golden age), karena usia ini terbukti sangat menentukan kemampuan anak dalam mengembangkan potensinya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sekitar 50% variabilitas kecerdasan orang dewasa sudah terjadi ketika anak berusia 4 tahun. Peningkatan 30% berikutnya terjadi pada usia 8 tahun, dan 20% sisanya pada pertengahan atau akhir dasawarsa kedua. Dari sini, sudah sepatutnya pendidikan karakter dimulai dari dalam keluarga, yang merupakan lingkungan pertama bagi pertumbuhan karakter anak.
Namun bagi sebagian keluarga, barangkali proses pendidikan karakter yang sistematis di atas sangat sulit, terutama bagi sebagian orang tua yang terjebak pada rutinitas yang padat. Karena itu, seyogyanya pendidikan karakter juga perlu diberikan saat anak-anak masuk dalam lingkungan sekolah, terutama sejak play group dan taman kanak-kanak. Di sinilah peran guru, yang dalam filosofi Jawa disebut digugu lan ditiru, dipertaruhkan. Karena guru adalah ujung tombak di kelas, yang berhadapan langsung dengan peserta didik.
Dampak Pendidikan Karakter Apa dampak pendidikan karakter terhadap keberhasilan akademik? Beberapa penelitian bermunculan untuk menjawab pertanyaan ini. Ringkasan dari beberapa penemuan penting mengenai hal ini diterbitkan oleh sebuah buletin, Character Educator, yang diterbitkan oleh Character Education Partnership.
Dalam buletin tersebut diuraikan bahwa hasil studi Dr. Marvin Berkowitz dari University of Missouri- St. Louis, menunjukan peningkatan motivasi siswa sekolah dalam meraih prestasi akademik pada sekolah-sekolah yang menerapkan pendidikan karakter. Kelas-kelas yang secara komprehensif terlibat dalam pendidikan karakter menunjukkan adanya penurunan drastis pada perilaku negatif siswa yang dapat menghambat keberhasilan akademik.
Sebuah buku yang berjudul Emotional Intelligence and School Success (Joseph Zins, et.al, 2001) mengkompilasikan berbagai hasil penelitian tentang pengaruh positif kecerdasan emosi anak terhadap keberhasilan di sekolah. Dikatakan bahwa ada sederet faktor-faktor resiko penyebab kegagalan anak di sekolah. Faktor-faktor resiko yang disebutkan ternyata bukan terletak pada kecerdasan otak, tetapi pada karakter, yaitu rasa percaya diri, kemampuan bekerja sama, kemampuan bergaul, kemampuan berkonsentrasi, rasa empati, dan kemampuan berkomunikasi.
Hal itu sesuai dengan pendapat Daniel Goleman tentang keberhasilan seseorang di masyarakat, ternyata 80 persen dipengaruhi oleh kecerdasan emosi, dan hanya 20 persen ditentukan oleh kecerdasan otak (IQ). Anak-anak yang mempunyai masalah dalam kecerdasan emosinya, akan mengalami kesulitan belajar, bergaul dan tidak dapat mengontrol emosinya. Anak-anak yang bermasalah ini sudah dapat dilihat sejak usia pra-sekolah, dan kalau tidak ditangani akan terbawa sampai usia dewasa. Sebaliknya para remaja yang berkarakter akan terhindar dari masalah-masalah umum yang dihadapi oleh remaja seperti kenakalan, tawuran, narkoba, miras, perilaku seks bebas, dan sebagainya.
Beberapa negara yang telah menerapkan pendidikan karakter sejak pendidikan dasar di antaranya adalah; Amerika Serikat, Jepang, Cina, dan Korea. Hasil penelitian di negara-negara ini menyatakan bahwa implementasi pendidikan karakter yang tersusun secara sistematis berdampak positif pada pencapaian akademis.
Seiring sosialisasi tentang relevansi pendidikan karakter ini, semoga dalam waktu dekat tiap sekolah bisa segera menerapkannya, agar nantinya lahir generasi bangsa yang selain cerdas juga berkarakter sesuai nilai-nilai luhur bangsa dan agama.

Minggu, 25 Maret 2012

Inovasi Pembelajaran

Dalam dunia pendidikan sering disebut-sebut pembelajaran yang aktif, kreatif, inovatif dan menyenangkan, tetapi dalam pembelajaran itu sendiri inovatiflah yang masih perlu dikembangkan. Inovatif itu sendiri yaitu suatu penemuan sesuatu hal sekecil apapun yang berbeda dari yang sudah ada,ataupun melengkapi / menyempurnakan dari yang sudah ada walaupun masih mengandung unsur yang sama. Dalam sistem pembelajaran yang harus diperbaharui adalah metode pengajarannya. Pembelajaran dengan menggunakan metode mengajar yang sudah ada seperti metode inkuiri atau metode pengajaran unit itu masih belum bias dikatakan pengajaran yang inovatif, tapi melaksanakan metode yang sudah ada. Bisa dikatakan metode tersebut inovatif jika ada hal yang berubah sedikit saja dalam pelaksanaannya. Memang metode tersebut sangat baik digunakan dalam pembelajaran, tetapi dalam pembelajaran yang inovatif penyesuaian dengan perkembangan peserta didik lebih diutamakan, karena perkembangan zaman yang terus berubah-ubah, tidak harus tetap pada sesuatu yang telah dibuat pada masa lalu.

Guru sesungguhnya telah mafhum apa yang dikemukakan oleh Vernon A.magnesen  “kita belajar berdasarkan 10 % dari apa yang kita baca, 20 % dari apa yang kita dengar, 30% dari apa yang kita lihat, 50% dari apa yang kita lihat dan dengar, 70 % dari apa yang kita katakan, dan 90 % dari apa yang kita katakan dan lakukan”. Oleh sebab itu tidak bisa ditunda lagi guru harus dapat melaksanakan pembelajaran mengarah kepada pembelajaran aktif (active learning) dan berorientasi pada siswa  (student centre). Guru yang inovatif, mereka harus mampu membuat metode yang lebih aktual dan sesuai dengan perkembangan zaman dan perkembangan peserta didik pada masa sekarang dan yang akan datang. Tuntutan seperti itulah yang menjadi pedoman untuk mengembangkan kemampuan setiap individu seorang guru.

Akhir – akhir ini sering didengar pembelajaran “paper list” yaitu pembelajaran tanpa menggunakan buku, namun pembelajaran seperti ini lebih efektif dan efisien apabila yang melaksanakan bagi siswa SLTP,SLTA,dan Perguruan Tinggi. Penggunaan metode ini yaitu dengan menggunakan media elektronik seperti computer, laptop, notebook, atau yang sejenisnya, karena pengguanaan media seperti itu lebih menghemat biaya daripada menggunakan buku yang lebih banyak pengeluarannya setiap tahun,setiap bulan, bahkan setiap minggunya. Namun ada juga Kendala apabila metode ini digunakan, seperti halnya bagi peserta didik yang orangtuanya masih terkendala dengan masalah ekonomi. Mereka belum mampu untuk melaksanakannya. Karena dalam inovasi tidak harus memerlukan biaya yang besar.

Sumber:
 http://edukasi.kompasiana.com/2010/09/23/inovasi-pembelajaran/

Sabtu, 24 Maret 2012

Inovasi Pendidikan

Pengertian Inovasi Pendidikan ·
Inovasi adalah an idea, practice or object thatperceived as new by an individual or other unit of adoption. Menurut Prof. Azis Inovasi berarti mengintrodusir suatu gagasan maupun teknologi baru, inovasi merupakan genus dari change yang berarti perubahan. Inovasi dapat berupa ide, proses dan produk dalam berbagai bidang. Contoh bidangnya adalah :
 o Managerial
o Teknologi
o Kurikulum ·
Menurut Miles karakteristik inovasi adalah
o Deliberate
o Novel o Specific
o Direction to goal attaintment ·
Aspek pokok yang mempengaruhi inovasi adalah :
o Struktur
o Prosedur
o Personal Inovasi yang berbentuk metode dapat berdampak pada perbaikan, meningkatkan kualitas pendidikan serta sebagai alat atau cara baru dalam memecahkan masalah yang dihadapi dalam kegiatan pendidikan.
Dengan demikian metode baru atau cara baru dalam melaksanakan metode yang ada seperti dalam proses pembelajaran dapat menjadi suatu upaya meningkatkan efektivitas pembelajaran. Sementara itu inovasi dalam teknologi juga perlu diperhatikan mengingat banyak hasil-hasil teknologi yang dapat dipergunakan untuk meningkatkan kualitas pendidikan, seperti penggunaannya untuk teknologi pembelajaran, prosedur supervise serta pengelolaan informasi pendidikan yang dapat meningkatkan efisiensi pelaksanaan pendidikan. · Praktisi Pendidikan dapat dikelompokan ke dalam :
1. Administrator terdiri dari : Principal Superintendent Teacher · Dalam hal penerimaan atau sikap terhadap perubahan dua kelompok ini mempunyai pandangan dan sikap yang tidak selalu sama, karena peran yang dimainkan dalam melaksanakan kegiatan pendidikan berbeda dan lingkungan kerja yang sering dijalani masing-masing juga berbeda · Menurut Ernest R House, dalam pendidikan Administrator (Kepala dan Pengawas lebih mudah menerima inovasi disbanding guru karena :
1. Sosial interaction inhibit diffusion across professional boundaries
2. Teacher remain isolated in classroom which does not enhance the diffusion of new idea within the profession
3. Never adopt innovation as a whole, only bits and pieces
4. Passive adopter ·
Dalam konteks Indonesia, inovasi pendidikan umumnya merupakan suatu gerakan yang bersifat top down,dalam arti inisiatif dalam melakukan inovasi selalu dating dari pihak pemerintah Proses Inovasi Proses Inovasi berkaitan dengan bagaimana suatu inovasi itu terjadi, di sini ada unsure keputusan yang mendasarinya, oleh karena itu proses inovasi dapat dimaknai sebagai proses keputusan Inovasi (Innovation decision Process). Menurut Everett M Rogers proses keputusan inovasi adalah the process through which abn individual (or other decision making unit) passes from first knowledge of an innovation,to forming an attitude toward the innovation, to a decision to adopt or reject, to implementation of the new ide, and to confirmation of this decision Prinsip-prinsip Komunikasi dalam proses inovasi
1. Mass media lebih penting/efektif pada tahap Knowledge
2. Komunikasi interpersonal lebih penting/efektif pada tahap Persuasion
3. Mass media lebih penting/efektif untuk adopter pemula Atribut Dan Sumber-Sumber Inovasi § Terdapat lima atribut inovasi :
1. Relative Advantage
2. Compatibility
3. Complexity
4. Trialibility
5. Observability
§ Penjelasan :
1. Kondisi dimana inovasi dipandang lebih baik dari ide sebelumnya,yang nampak dari keuntungan    ekonomis, pemberian status, atau cara lainnya
2. Keadaan dimana suatu inovasi dipandang konsisten dengan nilai-nilai yang ada, pengalaman masa lalu, dan kebutuhan potensil adopter, atau inovasi itu dipandang sesuai dengan :
1) Socio cultural value and belief;
2) Previously introduces idea;
3) Clients needs for innovation

3. Keadaan dimana inivasi dipandang secara relative sulit difahami dan digunakan. Keadaan ini berpengaruh negatif terhadap tingkat adopsi.
4. Keadaan dimana suatu inovasi dapat diuji secara terbatas, kondisi ini berhubungan positif dengan tingkat adopsi.
5. Keadaan dimana hasil suatu inovasi dapat dilihat orang lain. Kondisi ini berhubungan secara positif dengan tingkat adopsi
§ Disamping hal tersebut di atas tingkat adopsi juga dipengaruhi oleh :
1. Tipe keputusaninovasi (optional, kolektif, otoritas) Communication (Saluran komunikasi) Nature of Sosial system ( Norma, tingkat hubungan sosial) Extent of Change agents (upaya promosi)

Sumber:
 http://uharsputra.wordpress.com/pendidikan/inovasi-pendidikan/